Jumat, 22 Januari 2010

KEKAYAAN LPS 100% KEKAYAAN NEGARA

Ternyata izu kiamat 2012 tidak membuat banyak orang untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan (kebenaran), contoh kecil; masih banyaknya pakar hukum, bahkan ada juga yang rambutnya sudah beruban, kasarnya “sudah bau tanah” yang masih belum objektif dalam memberikan pendapat mengenai keahliannya mungkin inilah yang dingatkan dalam Al-Quran bahwa “ada segelintir orang yang menjual pengetahuannya dengan harga yang sedikit, yang tidak mau mengatakan yang benar padahal dia mengetahuinya”.
Contoh pertanyaan akhir-akhir ini; Apakah kekayaan LPS merupakan kekayaan Negara? dan saya berkeyakinan kalau semua sarjana hukum apalagi pakar hukum yang sudah tergolong senior, abis bangun tidurpun akan menjawab ya…
Anehnya masih ada yang menjawab bukan…

Untuk menjawab pertanyaan tersebut sudah sangat jelas dalam UU LPS itu sendiri dan berbagai UU yang terkait seperti UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dll. contoh kecil dapat dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 81 ayat 2 UU LPS ” Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.
2. Pasal 1 angka (1) UU Perbendaharaan Negara “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
sebagai perbandingan;
3. Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara “Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

LPS adalah Lembaga Independen yang berbadan hukum dimana 100% modalnya dari Negara, sebagaimana kita ketahui ciri khas badan hukum adalah kekayaan yang terpisah.
Maka dari itu kekayaan LPS yang terdiri dari modal beserta hasil yang diperoleh atau premi dari bank peserta merupakan kekayaan Negara.
Kekayaan terpisah ini jangan ditafsirkan lain lagi karena maksud terpisah tersebut adalah tanggung jawab yang terbatas artinya tanggung jawab Negara hanya sebatas atau sebesar kakayaan Negara yang ditempatkan atau dipisahkan tersebut. sebagaimana dalam Doctrin Piercing The Corporate Veil mengenai tanggung jawab yang terbatas pada perseroan yang berbadan hukum.

Senin, 16 Maret 2009

PRO DAN KONTRA PENGATURAN KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT LELANG


A. Latar belakang
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Adapun kewenangan notaris yang dimaksud sebagaimana pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai berikut:
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2) Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan berdasarkan pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang, pejabat lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun pengaturan notaris dapat merangkap jabatan sebagai pejabat lelang kelas II dalam pasal 7 Vendu Istructie, stbl. 1908 No. 190 tentang Instruksi Lelang sebagai berikut:
(s.d.u.t. dg. s. 1908-537 dan s. 1919-448.) Yang termasuk juru lelang kelas I ialah:
1. Pejabat pemerintah yang diangkat khusus untuk itu;
2. Kepala kas negara yang ditugaskan untuk memegang jabatan juru lelang sebagai jabatan tambahan.
Yang termasuk juru lelang kelas II ialah:
1. Pejabat negara, selain yang disebut dalam alinea pertama pasal ini, yang memegang jabatan yang dirangkapkan dengan juru lelang;
2. Orang-orang yang khusus diangkat untuk jabatan ini.

Dan secara tegas lagi diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II, sebagai berikut:
1. Pejabat Lelang Kelas I (PL I)
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
2. Pejabat Lelang Kelas II (PL II)
Orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang atas permohonan Balai Lelang selaku Kelas II, yang terdiri dari:
a. Lulusan Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh BPPK,
b. Notaris, atau
c. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) DJPLN diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I.

Menurut Hanugrahardini (17-04-2008, www.google.com) Pemberian kewenangan kepada Notaris dalam pembuatan akta risalah lelang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya di bidang lelang. Hal ini dikarenakan pemberian kewenangan tersebut tumpang tindih dengan kewenangan Pejabat Lelang sebagai pelaksana lelang berdasarkan Peraturan Lelang (Vendu Reglement) dan Instruksi Lelang (Vendu Instructie).

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang penulis dapat rumuskan sebagai berikut: “Apakah pengaturan kewenangan notaris dalam pembuatan akta risalah lelang tumpang tindih dengan pengaturan kewenangan pejabat lelang sebagai pelaksana lelang yang juga berwenang membuat akta risalah lelang.”

C. Analisis
Penulis sendiri sangat menyayangkan apabila melihat ataupun mendengar para sarjana hukum masih ada yang menafsirkan peraturan perundang-undangan hanya satu persatu tanpa mengaitkannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara keseluruhan (interpretasi sistematis). Interpretasi sistematis ini bukan saja antara pasal (ayat) dengan pasal (ayat) dalam UU yang sama, melainkan juga pasal (ayat) dengan pasal (ayat) dalam UU yang berlainan. Interpretasi sistematis ini hanyalah salah satu dari beberapa bentuk interpretasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan pemahaman yang berbeda seperti ini.
Penulis sendiri melihat bahwa kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (g) UUJN bukanlah suatu hal yang baru atau ada yang mengatakan suatu perluasan kewenangan bagi notaris dan bahkan beranggapan bahwa notaris tanpa melalui pengangkatan sebagai pejabat lelang dapat secara langsung berwenang membuat akta risalah lelang dengan pertimbangan bahwa yang mengatur kewenangan tersebut UU yang secara hirarki kedudukannya lebih tinggi dari peraturan menteri yang mengatur mengenai kewenangan pejabat lelang (lex superior derogat legi inferiori) atau vendu reglement dan vendu instructie yang dikesampingkan dengan alasan asas lex posterior derogat lege priori, adalah suatu kesalahan besar menurut penulis karena kedua asas tersebut baru dapat digunakan hanya untuk menyelesaikan suatu peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan dan penulis melihat pengaturan kewenangan tersebut tidak ada pertentangan bahkan satu sama lain saling menguatkan dan menunjukan konsistensi hukum. Dimana peraturan menteri tersebut merupakan lex specialis yang mengatur mengenai pengankatan notaris sebagai pejabat lelang.
Sebagai bahan perbandingan kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN, mengenai kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan juga bukan berarti notaris dapat secara langsung membuat akta di bidang pertanahan tanpa didahului pengangkatan sebagai PPAT dengan alasan yang sama bahwa profesi PPAT hanya diatur dalam Peraturan pemerintah. Hal tersebutpun keliru karena peraturan pemerintah tersebut juga merupakan lex specialis dalam pengankatan notaris sebagai PPAT agar dapat menjalankan kewenangannya tersebut sebagaimana yang diatur dalam UUJN.
Jadi pengangkatan notaris sebagai pejabat lelang juga bukan termasuk larangan rangkap jabatan bagi notaris sebagaimana dalam pasal 17 UUJN karena pengaturan hukum pengangkatan tersebut diatur dalam vendu reglement, vendu instructie, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II yang juga merupakan lex specialis dari kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (g) UUJN.

D. Kesimpulan
Kedudukan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dari segala perbuatan hukum yang dilakukan dalam lapangan hukum perdata, sedangkan pejabat lelang berkedudukan sebagai pejabat khusus yang berwenang dalam pelaksanaan lelang termasuk membuat akta risalah lelang. Jadi pengaturan pejabat lelang dengan peraturan menteri merupakan lex specialis dari pengaturan kewenangan notaris khususnya mengenai pembuatan akta risalah lelang dalam UUJN.

E. Saran
Dalam menganalisis suatu peraturan perundang-undangan haruslah secara keseluruhan yang utuh sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang keliru karena dapat menimbulkan anggapan bahwa pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan adalah pasal-pasal titipan (produk politik hukum).

Minggu, 15 Februari 2009

CONTOH SOMASI TERHADAP PEMENUHAN GARANSI


SOMASI I

Kepada Yth.
Pimpinan xx Komputer
Jl. mm No. 00 Makassar

Dengan hormat,
Saya AMRI SYAMSUDDIN, S.H., dengan ini melakukan SOMASI, sehubungan dengan klaim jaminan saya tanggal 07 November 2008 atas satu unit Notebook Acer 2920-T5750;828097532000, untuk mendapatkan “penggantian” sebagaimana mestinya, yang sampai saat ini belum dipenuhi dan saya merasa adanya iktikad yang tidak baik.

Adapun alasan saya melakukan somasi ini sebagai berikut:
1. Merujuk pada Hak Konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Komsumen, pasal 4 sebagai berikut:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pasal 7 sebagai berikut:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
3. Terpenuhinya salah satu unsur Wanprestasi yaitu:
a. tidak memenuhi prestasi (kewajibannya)*
b. terlambat dalam memenuhi prestasi (kewajibannya)
c. berprestasi tidak sebagaimana mestinya
4. Dan terpenuhinya unsur Perbuatan Melanggar Hukum yaitu:
a. melanggar hak orang lain
b. melakukan hal yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
c. berlawanan dengan kesusilaan baik
d. berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat.

Demikian somasi saya ini, untuk segera dipenuhinya klaim jaminan saya selambat-lambatnya tanggal 17 Januari 2009, apabila iktikad baik dari saya ini tidak segera dipenuhi, tentunya demi hukum dan rasa keadilan atas dasar ini saya akan menempuh kaidah hukum beracara selanjutnya.
Atas perhatiannya, saya haturkan terima kasih.

Makassar, 15 Januari 2009
Hormat saya,


Amri Syamsuddin, S.H.


SOMASI II

Kepada Yth.
Pimpinan xx Komputer
Jl. mm No. 00 Makassar

Dengan hormat,
Saya AMRI SYAMSUDDIN, S.H., dengan ini melakukan SOMASI yang ke-2, sehubungan dengan somasi saya yang pertama tanggal 15 Januari 2009 atas klaim jaminan saya tanggal 07 November 2008 atas satu unit Notebook Acer 2920-T5750;828097532000, untuk mendapatkan “penggantian” sebagaimana mestinya, yang sampai saat ini belum dipenuhi dan saya merasa adanya iktikad yang tidak baik.

Adapun pemberitahuan saya ini yang tentunya terkait dengan alasan pada somasi saya yang pertama, sebagai berikut:
1. Antara Saya dengan xx Komputer terikat hubungan hukum secara langsung (perjanjian garansi) sehingga xx Komputer wajib memenuhi kewajiban hukumnya tanpa harus/dan tidak dibenarkan mengalihkan tanggungjawabnya dengan alasan adanya pihak ke-3 (penjamin dari xx Komputer) yang tidak memenuhi kewajibannya terhadap xx Komputer sendiri. Sebab antara saya dengan pihak ke-3 (penjamin xx Komputer) tidak ada hubungan hukum secara langsung (perjanjian garansi) oleh karena ini saya dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap xx Komputer.
2. Antara xx Komputer dengan Pihak ke-3 (penjamin xx Komputer) yang terikat hubungan hukum secara langsung (perjanjian garansi) sehingga xx Komputer seharusnya meminta pihak ke-3 (penjamin xx Komputer) untuk segera melaksanakan kewajiban hukumnya karena dampak dari tindakan pihak ke-3 (penjamin xx Komputer) ini tentunya merusak citra xx Komputer kepada saya sendiri (konsumen) dan di masyarakat lingkungan saya sendiri. Oleh karena ini xx Komputer tentunya juga dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap pihak ke-3 (penjamin xx Komputer).
3. Antara Saya dengan Pihak ke-3 (penjamin xx Komputer) ada hubungan kausalitas karena tindakan wanprestasinya terhadap xx Komputer yang tentunya juga membawa dampak (kerugian) kepada saya. Oleh karena diatur dalam pasal 1365 BW, saya tentunya juga dapat mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum terhadap pihak ke-3 (penjamin xx Komputer).
4. Diharapkan klaim jaminan saya untuk segera dipenuhi oleh xx Komputer selambat-lambatnya tanggal 21 Januari 2009 dan apabila iktikad baik dari saya ini tidak segera dipenuhi, tentunya demi hukum dan rasa keadilan atas dasar ini berdasarkan kaidah hukum dan kebiasaan (gebruik) dengan dua kali telah melakukan somasi berturut-turut maka saya sudah bisa melanjutkan ke proses hukum selanjutnya terlepas apakah saya mendapat bantuan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk menempuh proses penyelesaian sengketa baik itu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ataupun ke pengadilan setempat.

Demikian somasi saya ini, atas perhatiannya, saya haturkan terima kasih.

Makassar, 19 Januari 2009
Hormat saya,


Amri Syamsuddin, S.H.

Jumat, 13 Februari 2009

ANALISIS DAN PERMASALAHAN MENGENAI HARTA PERKAWINAN


Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, harta perkawinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Harta bersama
2. Harta bawaan
Jadi bisa dikatakan dalam UU perkawinan tersebut menganut asas pemisahan, pemisahan tersebut dapat terjadi:
1. Secara tegas diperjanjikan
2. Apabila dalam perkawinan tidak ada perjanjian persatuan harta, maka secara otomatis pemisahan harta tersebut telah terjadi.
Yang tentunya sangat berbeda dengan buku I BW tentang orang khususnya mengenai perkawinan yang menganut asas persatuan bulat dimana persatuan tersebut dapat terjadi:
1. Secara tegas diperjanjikan
2. Apabila dalam perkawinan tidak ada perjanjian pemisahan harta, maka secara otomatis persatuan harta tersebut telah terjadi.
Yang sering menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam UU perkawinan adalah apakah hadiah dan warisan masuk dalam harta bersama atau harta bawaan, dan menurut penulis hal tersebut kasuistis tergantung kapan harta tersebut diperoleh dan bagaimana asal muasal sehingga harta tersebut ada karena pada pasal 35 ayat (1) “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Menurut penulis ini sangat jelas dan tidak perlu ditafsirkan lain lagi bahwa semua harta yang diperoleh selama perkawinan termasuk hadiah dan warisan apabila diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama kecuali pemberi hadiah atau warisan tersebut secara tegas untuk memisahkan dari persatuan harta, atau dalam perjanjian perkawinan secara tegas menyatakan bahwa hadiah dan warisan dipisahkan dari harta bersama.
Pada pasal 35 ayat (2) “harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Penafsiran penulis pada pasal ini pertama, penulisan harta bawaan dan hadiah atau warisan terpisah ini menandakan bahwa hadiah atau warisan tidak serta merta termasuk harta bawaan. Kedua, kata “penguasaan” dalam hukum kebendaan kewenangan yang ada terhadap pemegangnya adalah hak menguasai secara nyata bukan hak memiliki jadi tidak sepenuhnya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti untuk menjualnya tentunya membutuhkan persetujuan terhadap pemegang hak yang lain (dalam hal ini suami atau istri) terhadap harta tersebut jika diperoleh selama perkawinan. Dengan kata lain arti “penguasaan” tersebut bukanlah beziter karena dalam beziter mengandung dua unsur: pertama, corpus (penguasaan nyata) dan kedua, animus (kehendak untuk memiliki). Yang menurut penulis sendiri arti “penguasaan” tersebut hanya berarti corpus (penguasaan nyata) dimana tidak memiliki animus (kehendak untuk memiliki) jadi penguasaan tersebut bukan berarti memiliki kewenangan penuh untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti untuk menjualnya dan sebagainya.
Pada pasal 36 ayat (2) “mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Dalam pasal ini menegaskan bahwa hak yang ada pada harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum tidak lagi membutuhkan persetujuan dari suami atau istri. Dan tidak ada pasal atau ayat dalam undang-undang ini yang menegaskan bahwa hadiah atau warisan mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana pasal sebelumnya yang menyebutkan secara tegas atau terpisah antara harta bawaan dengan hadiah atau warisan, jadi jelas bahwa terhadap hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing tidak berarti serta merta mempunyai hak sepenuhnya sebagaimana harta bawaan, jadi tergantung kapan hadiah atau warisan tersebut diperoleh untuk menentukan apakah termasuk dalam harta bersama atau harta bawaan karena dalam pasal 36 ayat (1) “mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak”. Artinya bahwa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap harta bersama seperti menjualnya harus mendapat persetujuan dari suami atau istri.
Pada pasal 67 ayat (1) “undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah”. Yang menjadi permasalahan dalam peraturan pemerintah tidak ada yang mengatur mengenai harta perkawinan. Pada pasal 66 “….peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Berarti hal-hal yang belum diatur dalam UUP masih tetap menerapkan peraturan yang lama.

Contoh Akta Notaris mengenai Perjanjian Kawin
Contoh akta notaril, dari koleksi Raimond Flora Lamandasa, S.H., M.Kn.

PERJANJIAN KAWIN

Nomor: ....
Pada hari ini, hari
tanggal
pukul..............................WIB
menghadap kepada saya, RAIMOND FLORA LAMANDASA, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Jakarta, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang telah dikenal oleh saya, Notaris dan akan disebutkan pada bahagian akhir akta ini.
1. .
.
.
selanjutnya disebut Pihak Pertama.
1. .
.
.
selanjutnya disebut Pihak Kedua.
penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris.
Para penghadap menerangkan kepada saya, Notaris :
Bahwa antara para pihak telah terdapat kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan dan untuk itu para pihak telah setuju dan mufakat untuk membuat perjanjian kawin dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
PISAH HARTA
Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan apapun juga, baik per-sekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil dan pendapatan.

Pasal 2
H A R T A
Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam perkawinan, atau yang diperoleh-nya selama perkawinan karena pembelian, warisan, hibah dan atau dengan cara apapun juga tetap menjadi milik dari para pihak yang membawa dan atau yang memper-olehnya.

Pasal 3
BUKTI PEMILIKAN
1. Barang-barang bergerak yang oleh para pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan dilang-sungkan, wajib dibuktikan dengan bukti pemilikan dengan tidak mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau harganya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Barang-barang tidak bergerak, yang tidak dapat dibuk¬tikan dengan bukti pemilikan atau surat-surat lainnya oleh salah satu pihak, dianggap sebagai kepunyaan para pihak, masing-masing untuk 1/2 (setengah) bagian yang sama besar.

Pasal 4
HAK-HAK PARA PIHAK
1. Kekayaan dan hutang dari para pihak yang terjadi sebelum atau sesudah perkawinan dilangsungkan, tetap men¬jadi hak atau kewajiban masing-masing.
2. Pihak kedua dapat mengurus dan mempertahankan haknya, baik dalam tindakan pengurusan maupun dalam tindakan pemilikan untuk mengurus, menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak, maupun yang tidak bergerak, dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya.
3. Untuk hal-hal tersebut di atas, sepanjang diperlukan dengan ini pihak kedua telah diberi kuasa dan persetujuan oleh pihak pertama.

Pasal 5
BIAYA-BIAYA
1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik dan memelihara anak-anak yang dilahirkan dari per¬kawinan mereka dipikul oleh pihak pertama.
2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut di atas yang dilakukan oleh pihak kedua, dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari pihak pertama.
3. Hutang-hutang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari biaya-biaya tersebut di atas, harus ditanggung dan wajib dibayar oleh pihak pertama, dan pihak kedua tidak dapat ditagih atau digugat mengenai hal tersebut.

Pasal 6
BERAKHIR/PERHITUNGAN MENURUT HUKUM
1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada para pihak, pada saat berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau dianggap dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut, sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.
2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga termasuk pula perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah kedua belah pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap miliknya Pihak Kedua, sehingga terhadap barang-barang tersebut, tidak akan diadakan perhitungan.

Pasal 7
LAIN-LAIN
Bahwa selain dari pada pakaian dan barang-barang perhi-asan, mereka masing-masing (yang menurut keterangan para pihak tidak perlu diuraikan lebih lanjut dalam akta ini), tidak membawa sesuatu apapun dalam perkawinan yang harus ditulis dalam akta ini.

Pasal 8
DOMISILI
Untuk akta ini dan segala akibatnya serta pelaksanaan-nya, memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di kan-tor Panitera Pengadilan Negeri Jakarta di Jakarta

DEMIKIANLAH AKTA INI
Dibuat dan diselesaikan di Jakarta, pada hari, tanggal, bulan dan tahun seperti tersebut pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh :
keduanya karyawan kantor Notaris, dan bertempat tinggal di Jakarta, sebagai para saksi
Setelah akta ini selesai dibacakan oleh saya, Notaris, kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para penghadap, para saksi dan saya, Notaris, menan-datangani akta ini
Dibuat dengan


Contoh Putusan Pengadilan Agama mengenai Harta Perkawinan
GUGATAN HARTA BERSAMA ISTRI KAWIN BEBERAPA KALI
KASUS POSISI:
• Bercerai dengan Cecep Subrata alias Hendrik dan menikah dengan Budiman Sinulingga, tak membuat kondisi Popy Alpadiani menjadi lebih baik; ada saja tindakan Budiman yang membuat Popy kerepotan.
• Kerepotan itu bahkan dirasakan Popy sejak 5 bulan setelah menikah dengan Budiman pada tanggal 10 Maret 1983. Pasalnya Budiman meminta Popy untuk menghentikan usaha salonnya dan menolak semua bantuan yang dari Hendrik untuk keluarganya. Demi harga diri Budiman pula, Popy memutuskan menjual rumah yang ditinggalinya di Jl. Sukamenak No. 5 Dayeuh Kolot Bandung kepada Muhsin seharga Rp. 35 Juta tahun 1986.
• Hasil penjualan tanah dan rumah tersebut, oleh Popy dibelikan tanah seluas 440 m2 di Jl. Cicukang No. 9 milik Ny. Enah seharga Rp. 5 juta. Kelebihan hasil penjualan tanah tersebut digunakan Popy untuk membangun rumah di atas tanah itu. Sebagian lainnya membeli mobil untuk Budiman.
• Namun, kebaikan-kebaikan Popy tak menjamin Budiman berlaku baik terhadap istrinya. Tanpa setahu istrinya, Budiman memakai Sertifikat tanah di Jl. Cicukang itu sebagai jaminan atas kreditnya sebesar Rp. 32 Juta.
• Tetapi, sepandai-pandainya Budiman menyimpan rahasia, lama-kelamaan Popy tahu juga karena Bank mengirimkan tagihan kredit itu ke Jl. Cicukang. Persoalan inilah kemudian membuat pasangan Budiman-Popy tak lagi rukun. Dan akhirnya Suami-Istri Budiman-Popy bercerai di Pengadilan Agama Cimahi, berdasarkan Akte Cerai tanggal 23 April 1993 No. 133/AC/1993/ PA Cmi. Popy dan anak-anaknya baik anak-anak dari Hendrik maupun dari Budiman, tetap berdiam di Jl. Cicukang.
• Meski telah bercerai, tetapi persoalan antara Budiman dan Popy belum selesai karena Budiman telah menganggap bahwa tanah dan rumah di Jl. Cicukang adalah “harta bersama” yang diperoleh dalam masa pernikahan mereka. Tentu saja ini tak ditanggapi oleh Popy. Namun Budiman agaknya bukan orang yang gampang menyerah. Digugatnya Popy di Pengadilan Agama Cimahi.
• Budiman menuntut agar Hakim Pengadilan Agama memberikan putusan sebagai berikut:

PRIMAIR:
1. Mengabulkan seluruh Gugatan Penggugat;
2. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan tersebut;
3. Menyatakan tanah dan bangunan sesuai dengan Sertifkat Hak Milik No. 836 Desa Mekar Rahayu Kec. Marga Asih Kab. Bandung setempat dikenal sebagai Jl. Cicukang Raya No. 9 Kab. Bandung adalah harta Bersama (gono-gini) milik Penggugat dan Tergugat yang belum dibagikan;
4. Menghukum Tergugat untuk mengadakan pembagian dan pemisahan atas harta perkawinan dengan Penggugat masing-masing ½ (setengah) bagian atau apabila pemisahan dan pembagian barang tidak dapat dilakukan dalam bentuk barang maka barang harta perkawinan dijual di muka umum dan hasilnya dibagikan kepada Penggugat dan Tergugat masing-masing ½ (setengah) bagian;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa Rp. 100.000 per hari apabila Tergugat lalai dalam menjalankan putusan ini;
6. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun Tergugat Verzet, Banding, Kasasi;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;

Atau SUBSIDAIR:
Apabila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya;

PENGADILAN AGAMA:
• Hakim agama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut:
• Penggugat dan Tergugat adalah mantan pasangan Suami-Istri yang menikah 10 Maret 1983 dan bercerai dengan Akte Cerai No. 133/AC/1993/PA Cmi tanggal 27 April 1993. Dari hasil pernikahan keduanya lahir, Crina Criswina Sinulinggal.
• Objek sengketa adalah tanah dan rumah di Jl. Cicukang Raya No. 9 Mekar Rahayu, Marga Asih, Kab. Bandung. Objek sengketa tersebut menurut Penggugat adalah Harta Bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat.
• Hal tersebut dibantah oleh Tergugat, Saksi yang diajukan Penggugat, Enok mengatakan bahwa pembayaran tanah sengketa diterimakan oleh Tergugat dan Penggugat atau diserahkan oleh Tergugat saja. Tetapi, Enok tidak mengetahui uang tersebut milik siapa; sedangkan saksi Jefri menyatakan Penggugat tidak pernah pulang ke rumahnya di Kopo.
• Berbeda dengan keterangan saksi-saksi tersebut; saksi Tergugat menyatakan bahwa objek sengketa dibeli oleh Tergugat dan Hendrik, suami Tergugat sebelum menikah dengan Penggugat. Tergugat membangun rumah di tanah tersebut, dan dijual lagi kepada saksi Michsin seharga Rp. 35.000.000,- di hadapan Notaris. Ketika Tergugat menerima yang penjualan rumah, mengatakan akan menggunakan uangnya untuk membeli tanah dan rumah.
• Pembantu rumah tangga Tergugat menerangkan bahwa rumah di Jl. Dr. Sukamenak dibeli ketika Tergugat berumahtangga dengan Hendrik. Sedangkan rumah sengketa dibeli ketika berumahtangga dengan Penggugat.
• Berdasarkan bukti surat-surat dan keterangan saksi-saksi Majelis berpendapat bahwa objek sengketa diperoleh dari hasil perkawinan antara Tergugat dengan suami terdahulu, terlepas dari Hendrik atau H. Cecep Subrata; Penggugat tidak dapat mempertahankan dalil gugatannya dengan bukti surat/kuitansi pembayaran maupun keterangan saksi tentang kepemilikan tanah dan bangunan rumah tersebut.
• Dalil gugatan Penggugat adalah pasal 35(1) UU RI No. 1 tahun 1974 Majelis berpendapat bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing Suami atau Istri. Berdasar bukti surat-surat, Tergugat telah memiliki tanah dan rumah sebelum terjadinya perkawinan dengan Penggugat tahun 1983.
• Majelis berpendapat bahwa sekalipun objek sengketa dibeli dan dibayar setelah terjadi perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, tetapi tidak berarti harta Bersama, karena uang untuk membeli tanah dan membangun rumah Tergugat tersebut adalah berasal dari suami terdahulu (Hendrik).
• Oleh karena itu berdasar dari pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 86 dan 87, Kompilasi Hukum Islam, menentukan bahwa objek sengketa tidak dapat dibagi antara Penggugat dan Tergugat.
• Permohonan Penggugat tentang CB atas objek sengketa tidak dapat dipertimbangkan, karena kekhawatiran Penggugat tidak tampak pada sikap Tergugat. Kekhawatiran Penggugat tidak memenuhi syarat CB.
• Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis mengadili: Menolak gugatan Penggugat seluruhnya dan menyatakan objek sengketa dan Sertifikat Hak Milik No. 836 adalah harta Milik Tergugat (Ny. Popy Alvadiny binti Asasta).

PENGADILANTINGGI AGAMA:
• Penggugat Budiman Sinulingga menyatakan Banding atas putusan Hakim Pertama. Hakim Banding yang mengadili perkara ini berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Pertama telah tepat dan benar. Oleh karenanya pertimbangan dan putusannya dikuatkan.
• Akhirnya Hakim Banding memberikan putusan: Menguatkan putusan Pengadilan Agama Cimahi tanggal 30 November 1992 M (26 Jumadil Akhir) No. 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi.

MAHKAMAH AGUNG R. I.:
• Penggugat, Budiman Sinulingga menolak putusan Pengadilan Tinggi Agama yang menguatkan putusan Pengadilan Agama. Penggugat mengajukan permohonan kasasi dengan keberatan sebagai berikut:
1. Judex Facti hanya mengambilalih pertimbangan hukum dan menguatkan putusan Pengadilan Agama.
2. Judex Facti begitu saja mengambilalih dan menguatkan pertimbangan Pengadilan Agama yang menyebutkan bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan dalilnya, berupa bukti surat, kuitansi atau saksi. Padahal terbukti bahwa objek sengketa telah dibeli dan dibangun, ketika Penggugat dan Tergugat dalam ikatan perkawinan. Secara hukum, seluruh harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah harta gono-gini.
3. Judex facti keliru mengartikan harta gono-gini, Penggugat dianggap tidak dapat membuktikan dengan surat, kuitansi atau saksi bahwa uang pembelian objek sengketa berasal dari Penggugat.
4. Judex facti telah keliru, karena membebankan pembuktian kepada Penggugat. Tidak lazim, bila setiap pemberian uang atau harta lainnya dari suami kepada istrinya atau sebaliknya harus disertai kuitansi atau bukti penerimaan, pembelian benda apapun adalah harta gono-gini, sepanjang tidak diperjanjikan.
• Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat kasasi, dalam putusannya berpendirian bahwa putusan judex facti (Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama) tidak salah menerapkan hukum.
• Mengenai keberatan kasasi butir 1 dan 4, tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena hal ini, mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pasal 30 UU No. 14 tahun 1985.
• Berdasarkan pertimbangan tersebut, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan atau Undang-undang maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi Budiman Sinulingga bin Medan Sinulingga tersebut harus ditolak.
• Akhirnya Mahkamah Agung memberi putusan: Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon.

CATATAN:
• Dari putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, dapat diangkat “Abstrak Hukum” sebagai berikut:
• Sebidang tanah beserta rumah yang berdiri di atasnya, meskipun dibeli dalam masa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat, namun barang ini secara juridis bukanlah merupakan “Harta Bersama” dari suami/istri tersebut. Hal ini disebabkan karena uang yang digunakan untuk membeli tanah beserta rumahnya tersebut adalah milik istrinya, yakni Tergugat, yang diperolehnya dari pembagian “Harta Bersama” dengan bekas suaminya terdahulu sebelum Tergugat dikawani oleh Penggugat. Tanah dan rumah yang demikian itu menjadi hak milik istri (Tergugat).
Demikianlah catatan kasus ini.


Kesimpulan penulis terhadap kasus diatas mengenai harta perkawinan

Kasus tersebut tentunya bisa meyakinkan para pembaca bahwa untuk menentukan suatu harta perkawinan apakah merupakan harta bersama atau harta bawaan sangatlah kasuistis dan dari analisis penulis menawarkan dua cara dalam menentukannya yaitu pertama, kapan harta tersebut diperoleh dan kedua, bagaimana asal muasal sehingga harta tersebut ada, sebagaimana kasus diatas meskipun harta itu diperoleh selama perkawinan A dan B tidak menjadi harta bersama A dan B karena uang yang digunakan untuk membeli harta tersebut adalah milik B yang diperolehnya sebelum perkawinannya dengan A atau uang tersebut diperolehnya dari perkawinannya terdahulu dengan orang lain.

Kamis, 12 Februari 2009

PEMISAHAN ANTARA METODE INTERPRETASI DENGAN METODE KONSTRUKSI DALAM MELAKUKAN PENEMUAN HUKUM


Menurut pendapat penulis, perlu secara tegas membedakan antara metode interpretasi dengan metode konstruksi, karena tidak adanya teks Undang-undang yang jelas yang meliputi segala kejadian yang timbul di masyarakat karena para pembuat Undang-undang senantiasa terbelakang pada kejadian-kejadian baru yang timbul di masyarakat dimana Undang-undang itu suatu “momentopname” dari keadaan di waktu pembuatannya atau “het recht hint achter de ferten aan” hukum itu selalu mengejar suatu pristiwa. Sementara asas “ius curia novit” dimana hakim tidak boleh menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap. Oleh karena itu hakim harus menyesuaikan Undang-undang dengan hal-hal konkret sehingga hakim dituntut untuk berfikir dalam menemukan pasal dakwaannya jadi dapat disimpulkan bahwa hakim selalu melakukan penemuan hukum.
Tentunya bertentangan dengan pendapat Montesquien yaitu “la bauche de la loi” bahwa hakim itu adalah terompet Undang-undang yang hanya menerapkan Undang-undang saja dan penganut doktrin sens-clair yang dapat disimpulkan bahwa hakim tidak setiap saat melakukan penemuan hukum sebab menganggap penemuan hukum itu terjadi apabila hakim menerapkan hukum yang sama sekali ketentuan hukumnya belum ada artinya menganggap bahwa ada teks UU yang jelas terhadap suatu kasus-kasus yang kongkret. Pendapat-pendapat seperti itu muncul disebabkan karena tidak secara tegas membedakan antara metode interpretasi dengan metode konstruksi yang tentunya pendapat-pendapat seperti itu tidak berlaku lagi dalam era supremasi hukum sekarang ini.
Pendapat yang mengatakan ada teks UU yang jelas menurut penulis justru telah melakukan penemuan hukum dalam bentuk rechts vinding dimana penemuan hukum yang aturan hukumnya sudah ada namun belum jelas yang biasanya menggunakan metode interpretasi, yang kemudian menerapkan suatu ketentuan yang sifatnya umum tersebut kedalam suatu kasus yang kongkret (rechts toepassing), adapun bentuk lainnya seperti rechts chepend dimana melakukan penciptaan hukum yang aturan hukumnya belum ada menjadi ada biasanya menggunakan metode konstruksi yang kemudian melakukan rechts toepassing. Dimana kedua cara tersebut menghasilkan rechts chepend yang wujudnya dalam putusan hakim.
Adapun menurut penulis tujuan perlunya membedakan metode interpretasi dengan metode konstruksi tidak lain adalah supremasi hukum khususnya dalam perkara pidana, dalam penegakan asas legalitas yang merupakan asas universal dalam perkara pidana di seluruh dunia dimana seseorang tidak dapat dipidana tanpa terdahulu ada UU yang mengatur tentang itu dan tidak berlaku surutnya suatu UU maka hal tersebut tentunya membutuhkan suatu penemuan hukum dalam bentuk rechts chepend yang tentunya tidak lagi menggunakan metode interpretasi melainkan metode konstruksi.
Jadi dapat kita membedakan penemuan hukum oleh hakim dengan pekerjaan badan legislatif ialah hakim tidak membuat peraturan umum yang diundangkan dalam lembaran Negara. Melainkan sebagaimana dalam pasal 1917 BW, keputusan hakim hanya berlaku terhadap kedua belah pihak saja. Dimana kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu atau “het gezag van een geregtelijk gewijsde sterkt zich niet verder uit dan tot het onderwerp van het vonnis” hakim membuat peraturan yang hanya mengikat kedua belah pihak yang menjadi peserta perselisihan, sedangkan pembuat Undang-undang membuat peraturan umum. Akan tetapi walaupun demikian halnya yurisprudensi juga menjadi sumber hukum formil.

PENERAPAN ASAS HUKUM DENGAN TEPAT MERUPAKAN SOLUSI PERTENTANGAN DALAM SISTEM HUKUM


Tentunya sudah sering kita melihat pertentangan dalam sistem hukum dan diselesaikan dengan menggunakan asas hukum. Yang menjadi permasalahan pertentangan dalam sistem hukum diselesaikan oleh yang katanya penegak hukum atau diberbagai bacaan oleh pakar hukum yang menggunakan asas hukum yang berbeda dalam suatu kasus yang sama yang tentunya disebabkan karena pemahaman terhadap suatu asas hukum yang berbeda atau mungkin karena adanya kepentingan yang berbeda pula.
Disini seringpula kita melihat dalam penegakan asas legalitas yang merupakan asas universal dalam perkara pidana di seluruh dunia, yang dalam sistem hukum sering memunculkan berbagai permasalahan dan menimbulkan pertentangan dalam penyelesaiannya dengan menggunakan asas hukum yang berbeda dalam kasus yang sama, yang sering kita lihat yaitu penggunaan asas lex specialis derogat legi generale dan asas lex superior derogat legi inferiori. Kedua asas tersebut penulis dapat menguraikan dengan contoh kasus sebagai berikut:
Asas lex specialis derogat legi generale
Adalah aturan khusus mengesampingkan aturan umum, asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang bertentangan tetapi secara hierarki sederajat. Contoh kasus yang tidak asing lagi dalam masyarakat adalah tindak pidana korupsi, untuk kasus yang terjadi setelah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentunya diselesaikan menurut UU tersebut bukan lagi ketentuan umum yang ada dalam KUHP dengan dasar asas lex specialis derogat legi generale. Tetapi untuk kasus tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU tindak pidana korupsi tersebut yang digunakan untuk menyelesaikannya bukan lagi UU tindak pidana korupsi sekalipun ada ketentuan dalam UU tersebut yang menyatakan UU ini berlaku surut, dengan dasar asas legalitas maka ketentuan tersebut tidak dapat digunakan, bukan berarti tidak dapat diadili atau dibiarkan begitu saja, melainkan digunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut jadi tidak ada alasan untuk tidak dapat menjerat seorang koruptor jika para penegak hukum memang memiliki komitmen untuk menegakkan hukum.
Asas lex superior derogat legi inferiori
Adalah aturan lebih tinggi mengesampingkan aturan lebih rendah, asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang bertentangan tetapi secara hierarki tidak sederajat. Contoh kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000, pada pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD NRI 1945 yang berbunyi ”...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pertentangan seperti ini tentunya tidak lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD NRI 1945. Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan menggunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut. Dan sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangatlah sulit untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama karena kita menganut asas ne bis ni idem.

DEWAN PENGAWAS SYARIAH & PERBANKAN SYARIAH


Sejarah dan Permasalan Perbankan Syariah

Upaya pendirian bank Islam di Indonesia dimulai sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).

Gagasan berdirinya bank Islam di Indonesia lebih kongkret pada saat lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Ide tersebut ditindak lanjuti dalam Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus 1990. yang kemudian diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Maka diikuti dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia yang merupakan Bank Umum Syariah pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti pula pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

Pada dekade tahun 1992 hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah boleh dibilang agak lambat. Peraturan pada saat itu menjadi pembatas bagi berkembangnya bank syariah, karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah hanya melalui perluasan kantor bank syariah yang telah ada atau pembukaan bank baru. Situasi demikian membuat Bank Muamalat Indonesia (BMI) menjadi pemain tunggal di pasar dengan sejumlah masalahnya, terutama berkaitan dengan masalah pengelolaan likuiditas dan mitra kerjasama.

Pada dekade tahun 1998 hingga tahun 2007 perangkat hukum saat itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk mulai menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system, yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel. Dan memberi peluang yang lebih besar dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia.

Namun ketiadaan perangkat hukum pendukung memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku yang nota benenya berbasis bunga/konvensional, di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan bank syariah di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional. Hal ini disebabkan manajemen bank-bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang disyariahkan, dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua kebutuhan masyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank konvensional. Namun keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 dalam rezim sekarang ini tidak cukup. Banyak kendala dan tantangan yang dihadapi bank syariah sebagai suatu industri baru. Yang lebih utama, pengembangan perbankan syariah juga harus market driven. Bank syariah akan dapat berkembang dengan baik bila mengacu pada demand masyarakat akan produk dan jasanya.

Dalam rangka mempercepat perkembangan perbankan syariah, Bank Indonesia menyempurnakan kebijakan pengembangan jaringan layanan syariah melalui Layanan Syariah (LS)/Office Channeling (OC). Langkah ini dilaksanakan melalui perubahan berbagai peraturan Bank Indonesia seperti penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/7/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.

Beberapa pokok aturan terkait penyempurnaan dari Peraturan Bank Indonesia sebelumnya. Pertama, Memperluas cakupan wilayah layanan transaksi perbankan syariah. Sebelumnya, penerapan layanan syariah (LS)/office channeling (OC) hanya diperbolehkan bila unit usaha syariah (UUS) suatu bank konvensional memiliki kantor cabang syariah (KCS) di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia (KBI) yang sama. Setelah penyempurnaan, UUS dapat menerapkan LS/OC di seluruh kantor cabang dan cabang pembantu bank induk konvensionalnya pada propinsi yang sama atau wilayah kerja KBI yang sama. Kedua, Meningkatkan layanan yang semula hanya melakukan kegiatan penghimpunan dana, diperluas dengan melakukan seluruh transaksi perbankan yaitu penghimpunan dan penyaluran dana serta jasa transaksi perbankan syariah lainnya. Ketiga, Kewajiban mencantumkan logo industri perbankan syariah di setiap kantor, bank konvensional induknya yang melayani transaksi syariah.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka landasan hukum bank syariah telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya dan secara tegas sistem perbankan syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistem perbankan nasional.

Pengembangan perbankan syariah nasional pada dasarnya merupakan bagian dari program restrukturisasi perbankan nasional. Sedikitnya ada empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan yang berdasarkan prinsip Islam tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Kedua, terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku bisnis yang berdasarkan nilai-nilai moral, yang pada gilirannya akan meningkatkan market disciplines dan pelayanan bagi masyarakat. Ketiga, mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia. Karena pengembangan bank syariah sebagai alternatif dari bank konvensional akan memberikan penyebaran risiko keuangan yang lebih baik. Keempat, mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi kegiatan spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan ditujukan pada usaha-usaha yang berlandaskan nilai-nilai moral.[1].

Bank Indonesia pada program akselerasi atau percepatan memiliki enam langkah strategis Untuk mencapai share dalam perbankan syariah yaitu: (1) penguatan kelembagaan, (2) pengembangan produk, (3) peningkatan peranan pemerintah, (4) penguatan kerangka hukum, (5) penguatan sumber daya manusia, dan (6) penguatan pengawasan bank syariah. Keenam langkah strategis ini dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai program kegiatan yang lebih bersifat teknis seperti evaluasi dan amandemen Peraturan Bank Indonesia, penerbitan kodifikasi produk dan jasa bank syariah, pelaksanaan sosialisasi dan edukasi publik mengenai bank syariah, pelaksanaan pelatihan bankir syariah, dan pengawasan yang lebih intensif terhadap rencana bisnis bank syariah agar sejalan dengan program akselerasi. Langkah strategis yang pertama, yaitu penguatan kelembagaan bank. Secara kelembagaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah dapat dilakukan melalui empat institusi yaitu: Bank Umum Syariah (BUS), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Islamic Windows, dan Office Channeling.

Bank syariah memberikan fasilitas berupa produk-produk keuangan yang mengikuti syariah Islam dan dalam operasional bank syariah didasarkan pada prinsip jual-beli dan bagi hasil sesuai dengan syariah Islam. Adapun produk bank syariah seperti titipan murni (al-wadiah), pembiayaan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, jual-beli dalam bentuk murabahah dan al-bai’u bithaman ajil, sewa-menyewa dalam bentuk al-ijarah dan al-tajiri, jaminan dalam bentuk al-kafalah dan al-rahn, pinjaman lunak (al-qardhul hasan), kegiatan transfer (al-hiwalah), layanan proyek (al-joalah), jasa penitipan (al-wakalah), jual-beli mata uang (al-sharf), dll.

Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan dalam hal teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan akan tetapi , terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya perbedaan itu menyangkut akad, aspek legalitas, struktur organisasi, bisnis atau usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.

Perbedaan lain yaitu pada pola hubungan antara bank dan nasabah dalam bank syariah bersifat kemitraaan (syirkah) sedangkan konsep yang diterapkan pada bank konvensional adalah hubungan debitur dan kreditur, sistem imbalan pada bank syariah berdasarkan bagi hasil sehingga sangat bergantung pada hasil usaha sedangkan bank konvensional memberikan imbalan berdasarkan konsep bunga yang sama sekali tidak tergantung pada hasil usaha debitur, dan perbankan syariah memiliki sejumlah pembatasan dalam hal pembiayaan karena tidak semua proyek dapat dibiayai oleh perbankan syariah, tetapi harus memenuhi prinsip dan kaidah syariah yang mengedepankan aspek moralitas, kejujuran, keadilan, dan transparansi.

Sayangnya, pemahaman masyarakat soal perbankan syariah belum memadai seperti masih banyak terjadi kesalahpahaman. Kecurigaan dan ketidakpuasan masyarakat didasarkan pada sejumlah bank syariah yang memang belum melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara konsisten. Selain itu ada juga karena prasangka, salah interpretasi, dan bias komunikasi dari masyarakat pengguna jasa bank syariah.

Permasalahan lainnya adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pada saat bank-bank syariah mulai tumbuh, ketersediaan Sumber Daya Manusia masih belum memadai. Ditambah lagi Sumber Daya Manusia yang sudah ada dan bekerja pada bank syariah masih ada yang belum memahami dan mampu mengkomunikasikan sistem syariah kepada masyarakat.

Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah. Oleh karena itu perlu meningkatkan purifikasi praktik perbankan syariah yang konsisten dalam menerapkan prinsip dan kegiatan sesuai syariah.

Kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktek-praktek yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama.

Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya hanya yang sekadar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil atau marjin jual beli dengan tingkat bunga bank konvensional yang berlaku, sehingga penempatan dana menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga.

Adapun dampak dari sosialisasi dan meningkatnya pengetahuan masyarakat pengguna jasa perbankan syariah akan membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut agar bank-bank syariah dapat melakukan purifikasi kegiatan usahanya sehingga terhindar dari keragu-raguan adanya pelanggaran prinsip syariah dalam kegiatannya.

Kegiatan bisnis perbankan syariah mencakup berbagai aspek hukum temasuk hukum dagang, hukum perbankan, dan hukum perusahaan. Oleh karena hukum yang diberlakukan tersebut bersifat umum, maka pada bagian-bagian tertentu terdapat permasalahan lantaran adanya kontradiksi antara hukum positif yang berlaku dengan prinsip-prinsip syariah yang wajib diterapkan dalam perbankan syariah.

Kemudian perlu penyempurnaan ketentuan perbankan dan pengembangan sistem pengawasan yang efektif. Misalnya ketentuan mengenai kecukupan modal minimum atau capital adecuacy ratio (CAR) untuk bank syariah memerlukan sejumlah penyesuaian karena risiko dari berbagai asset utama bank syariah seperti mudharabah, musyarakah dan murabahah berbeda secara mendasar dengan kredit pada bank konvesional. Demikian pula ketentuan mengenai penilaian kualitas aktiva produkti, dll.

Sebenarnya mekanisme pengawasan telah diciptakan melalui kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank syariah, adanya kewajiban bahwa setiap produk dan jasa baru bank syariah untuk memperoleh fatwa kehalalannya terlebih dahulu pada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), serta fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia.

Oleh karena itu, independensi Dewan Pengawas Syariah dalam melaksanakan fungsi pengawasannya atas produk dan kegiatan perbankan syariah sangat berpengaruh terhadap produk/jasa yang dipasarkan atau suatu kegiatan yang dilakukan oleh perbankan syariah agar sesuai dengan prinsip syariah.

Dari sisi pengembangan pengawasan, pada prinsipnya 25 Core Principles for Effective Banking Supervision yang dikembangkan oleh Basle Committee on Banking Supervision juga perlu diadopsi oleh pengawas perbankan syariah. Hanya saja, selain mengadopsi prinsip yang berlaku universal juga harus dikaji hal-hal yang bersifat spesifik, antara lain soal ketentuan kehati-hatian, manajemen risiko, panduan pembiayaan yang mendukung praktik pembiayaan yang sehat, sistem akuntansi yang dapat mendukung financial transparency untuk perbankan syariah.

Hal terpenting lainnya yang tidak dapat dilupakan adalah peningkatan kualitas dan profesionalisme pengawas bank syariah, baik dari sisi pengetahuan aspek perbankan maupun prinsip-pirinsip syariah.

Dari paparan di atas, akhirnya dapat dikemukakan bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam penyusunan/penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, mekanisme pembukaan jaringan, upaya penyebarluasan informasi, atau pelaksanaan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) semata-mata, tetapi juga sangat ditentukan oleh para pelaku ekonomi yaitu para bankir, nasabah, dan mitra dalam memanfaatkan bank syariah sebagai bagian dari sistem keuangan yang universal dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia.

Analisis Mengenai Dewan Pengawas Syariah

1. Dalam pelaksanaan proses pembinaan dan pengawasan DPS terhadap perbankan syariah hanya merupakan pengawas kepatuhan syariah sebuah produk dimana dapat dilihat bahwa yang menjadi objek materil pengawasannya adalah segala produk/jasa perbankan syariah bahkan sampai pada tahap pelaporan DPS ke DSN-MUI, direksi, komisaris, dan Bank Indonesia hanya memuat hasil pengawasannya terhadap sebuah produk/jasa atau kegiatan usaha suatu perbankan syariah penempatannya, sehingga nampak bahwa fungsi pembinaan yang ada pada DPS tidaklah merupakan suatu kewajiban yang dijalankan secara formal. Maka dari itu penulis menganggap perlu secara tegas dalam suatu sistem pembinaan dan pengawasan DPS secara tegas mencantumkan sasaran pembinaan sehingga dalam pelaporan DPS memuat kegiatan/hasil pembinaan yang telah dilakukannya.

Adapun penulis maksud adalah pembinaan internal dalam sebuah LKS yang dilaksanakan oleh DPS secara formal terhadap segenap karyawan pada LKS penempatannya dan pembinaan eksternal seperti sosialisasi dan edukasi baik terhadap masyarakat maupun terhadap pihak-pihak antar suatu LKS lainnya yang dijalankan secara formal ataupun nonformal baik itu dalam bentuk seminar resmi ataupun acara lainnya seperti pengajian, khutbah jumat, dan pengajaran di kampus-kampus atau pesantren, dsb. Jadi seyogianya dalam sistem pembinaan dan pengawasan DPS selain mengatur pengawasan terhadap produk/jasa dan kegiatan usaha dalam sebuah LKS juga mengatur bentuk-bentuk pembinaan yang harus dilakukan DPS baik di dalam maupun di luar LKS penempatannya.

2. Pertama dari segi SDM pada DPS dan SDM yang bekerja pada perbankan syariah, keharusan memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah hanya dilihat dari aspek ilmu ekonominya sehingga anggota DPS yang ada pada LKS kebanyakan hanya terdiri dari orang-orang ekonomi dan dari ulama.

Menurut penulis seharusnya juga dilihat dari aspek ilmu hukumnya adapun ilmu hukum yang terkait khususnya bagian keperdataan seperti mengerti dan memahami apa yang diatur dalam KUHPerdata (burgerlijk wetboek), KUHD (wetboek van koophandel), dan berbagai peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan hukum perusahaan, hukum jaminan, kepailitan, dsb. Sehingga dalam bertindak sesuai kewenangannya dalam hukum karena dalam sebuah otoritas pengawasan ada empat kewenangan yang harus dimiliki yaitu Pertama, kewenangan memberi izin (power to license). Kedua, kewenangan untuk mengatur (power to regulate). Ketiga, kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power of control). Keempat, kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction).

Dari keempat kewenangan tersebut sangat jelas hanya bisa dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang mengerti ilmu hukum agar kewenangan tersebut sesuai/sejalan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Jadi seyogianya SDM pada DPS maupun SDM yang bekerja pada perbankan syariah memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah baik itu dari aspek ilmu ekonominya maupun dari aspek ilmu hukumnya.

Kedua, dari segi kuantitas dalam hal ini jumlah anggota DPS dalam sebuah LKS sangat minim dan hanya berkedudukan di kantor pusatnya, seolah-olah fungsi DPS hanya menghadiri rapat-rapat bersama pimpinan LKS, memberi fatwa, dan pengawas produk/operasional syariah hanya pada kantor pusat LKS penempatannya. Seharusnya DPS juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kantor cabang atau cabang pembantu LKS penempatannya karena bentuk pengawasan DPS bukan hanya pada tahap perencanaan suatu produk/jasa atau kegiatan usaha LKS melainkan juga pada tahap pelaksanaan mengenai kesesuaiannya terhadap syariah. Jadi menurut penulis seyogianya DPS tidak hanya berkedudukan di kantor pusat LKS tapi juga terhadap kantor cabang atau cabang pembantu khususnya yang tidak berada dalam satu wilayah dengan kantor pusat LKS penempatannya, sehingga fungsi pembinaan dan pengawasan DPS dapat berjalan dengan optimal.

Kesimpulan

1. Pembinaan dan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap perbankan syariah hanya berfungsi sebagai pengawas kepatuhan syariah sebuah produk, maka dari itu DPS selain mengawasi dan berperan dalam manajemen dan marketing bank, seharusnya juga dapat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia dan hubungan interpersonal di sebuah Lembaga Keuangan Syariah, serta membantu mendorong pengembangan investasi para nasabah atau mitra bank. Jadi tugas sosialisasi dan edukasi ini seharusnya merupakan tugas formal Dewan Pengawas Syariah di luar peran pengawasannya terhadap produk/jasa atau kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah yang dijalankan.

2. Pertama, dari segi SDM pada DPS dan SDM yang bekerja pada perbankan syariah, keharusan memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah hanya dilihat dari aspek ilmu ekonominya, seharusnya SDM pada DPS maupun SDM yang bekerja pada perbankan syariah memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah baik itu dari aspek ilmu ekonominya maupun dari aspek ilmu hukumnya.

Kedua, dari segi kuantitas dalam hal ini jumlah anggota DPS dalam sebuah LKS sangat minim dan hanya berkedudukan di kantor pusatnya, seharusnya DPS tidak hanya berkedudukan di kantor pusat LKS tapi juga terhadap kantor cabang atau cabang pembantu khususnya yang tidak berada dalam satu wilayah dengan kantor pusat LKS penempatannya sehingga fungsi pembinaan dan pengawasan DPS dapat berjalan dengan optimal.

Saran

1. Sistem pembinaan dan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap bank syariah supaya lebih ditingkatkan atau dikembangkan tidak hanya berfungsi sebagai pengawas kepatuhan syariah sebuah produk, sehingga pertumbuhan bank syariah makin cepat jangan lagi banyak terjadi selama ini di mana sangat banyak bank syariah yang baru terlalu lama mencapai break event point (BEP) sehingga terlalu lama untuk melakukan spin off bagi perbankan syariah yang masih berstatus Unit Usaha Syariah.

2. Dewan Pengawas Syariah (DPS) diharapkan lebih profesional dan produktif karena melalui pendekatan emosional, rasional, dan edukasi market share bank syariah bisa menanjak secara signifikan dengan ilmu keuangan, perbankan, dan syariah baik itu dari aspek ilmu ekonomi maupun dari aspek ilmu hukum yang dimilikinya. Dan hendaknya jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah dalam suatu perbankan syariah ditambah sehingga DPS tidak hanya berkedudukan di kantor pusatnya khususnya pada kantor Cabang atau cabang pembantu yang tidak berada dalam satu wilayah dengan kantor pusatnya.


[1] Mulya E Siregar dan Nasirwan/Peneliti Senior Biro Perbankan Syariah BI, 16 January 2007