Jumat, 13 Februari 2009

ANALISIS DAN PERMASALAHAN MENGENAI HARTA PERKAWINAN


Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, harta perkawinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Harta bersama
2. Harta bawaan
Jadi bisa dikatakan dalam UU perkawinan tersebut menganut asas pemisahan, pemisahan tersebut dapat terjadi:
1. Secara tegas diperjanjikan
2. Apabila dalam perkawinan tidak ada perjanjian persatuan harta, maka secara otomatis pemisahan harta tersebut telah terjadi.
Yang tentunya sangat berbeda dengan buku I BW tentang orang khususnya mengenai perkawinan yang menganut asas persatuan bulat dimana persatuan tersebut dapat terjadi:
1. Secara tegas diperjanjikan
2. Apabila dalam perkawinan tidak ada perjanjian pemisahan harta, maka secara otomatis persatuan harta tersebut telah terjadi.
Yang sering menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam UU perkawinan adalah apakah hadiah dan warisan masuk dalam harta bersama atau harta bawaan, dan menurut penulis hal tersebut kasuistis tergantung kapan harta tersebut diperoleh dan bagaimana asal muasal sehingga harta tersebut ada karena pada pasal 35 ayat (1) “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Menurut penulis ini sangat jelas dan tidak perlu ditafsirkan lain lagi bahwa semua harta yang diperoleh selama perkawinan termasuk hadiah dan warisan apabila diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama kecuali pemberi hadiah atau warisan tersebut secara tegas untuk memisahkan dari persatuan harta, atau dalam perjanjian perkawinan secara tegas menyatakan bahwa hadiah dan warisan dipisahkan dari harta bersama.
Pada pasal 35 ayat (2) “harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Penafsiran penulis pada pasal ini pertama, penulisan harta bawaan dan hadiah atau warisan terpisah ini menandakan bahwa hadiah atau warisan tidak serta merta termasuk harta bawaan. Kedua, kata “penguasaan” dalam hukum kebendaan kewenangan yang ada terhadap pemegangnya adalah hak menguasai secara nyata bukan hak memiliki jadi tidak sepenuhnya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti untuk menjualnya tentunya membutuhkan persetujuan terhadap pemegang hak yang lain (dalam hal ini suami atau istri) terhadap harta tersebut jika diperoleh selama perkawinan. Dengan kata lain arti “penguasaan” tersebut bukanlah beziter karena dalam beziter mengandung dua unsur: pertama, corpus (penguasaan nyata) dan kedua, animus (kehendak untuk memiliki). Yang menurut penulis sendiri arti “penguasaan” tersebut hanya berarti corpus (penguasaan nyata) dimana tidak memiliki animus (kehendak untuk memiliki) jadi penguasaan tersebut bukan berarti memiliki kewenangan penuh untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti untuk menjualnya dan sebagainya.
Pada pasal 36 ayat (2) “mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Dalam pasal ini menegaskan bahwa hak yang ada pada harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum tidak lagi membutuhkan persetujuan dari suami atau istri. Dan tidak ada pasal atau ayat dalam undang-undang ini yang menegaskan bahwa hadiah atau warisan mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana pasal sebelumnya yang menyebutkan secara tegas atau terpisah antara harta bawaan dengan hadiah atau warisan, jadi jelas bahwa terhadap hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing tidak berarti serta merta mempunyai hak sepenuhnya sebagaimana harta bawaan, jadi tergantung kapan hadiah atau warisan tersebut diperoleh untuk menentukan apakah termasuk dalam harta bersama atau harta bawaan karena dalam pasal 36 ayat (1) “mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak”. Artinya bahwa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap harta bersama seperti menjualnya harus mendapat persetujuan dari suami atau istri.
Pada pasal 67 ayat (1) “undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah”. Yang menjadi permasalahan dalam peraturan pemerintah tidak ada yang mengatur mengenai harta perkawinan. Pada pasal 66 “….peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Berarti hal-hal yang belum diatur dalam UUP masih tetap menerapkan peraturan yang lama.

Contoh Akta Notaris mengenai Perjanjian Kawin
Contoh akta notaril, dari koleksi Raimond Flora Lamandasa, S.H., M.Kn.

PERJANJIAN KAWIN

Nomor: ....
Pada hari ini, hari
tanggal
pukul..............................WIB
menghadap kepada saya, RAIMOND FLORA LAMANDASA, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Jakarta, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang telah dikenal oleh saya, Notaris dan akan disebutkan pada bahagian akhir akta ini.
1. .
.
.
selanjutnya disebut Pihak Pertama.
1. .
.
.
selanjutnya disebut Pihak Kedua.
penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris.
Para penghadap menerangkan kepada saya, Notaris :
Bahwa antara para pihak telah terdapat kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan dan untuk itu para pihak telah setuju dan mufakat untuk membuat perjanjian kawin dengan memakai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
PISAH HARTA
Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan apapun juga, baik per-sekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil dan pendapatan.

Pasal 2
H A R T A
Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam perkawinan, atau yang diperoleh-nya selama perkawinan karena pembelian, warisan, hibah dan atau dengan cara apapun juga tetap menjadi milik dari para pihak yang membawa dan atau yang memper-olehnya.

Pasal 3
BUKTI PEMILIKAN
1. Barang-barang bergerak yang oleh para pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan dilang-sungkan, wajib dibuktikan dengan bukti pemilikan dengan tidak mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau harganya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Barang-barang tidak bergerak, yang tidak dapat dibuk¬tikan dengan bukti pemilikan atau surat-surat lainnya oleh salah satu pihak, dianggap sebagai kepunyaan para pihak, masing-masing untuk 1/2 (setengah) bagian yang sama besar.

Pasal 4
HAK-HAK PARA PIHAK
1. Kekayaan dan hutang dari para pihak yang terjadi sebelum atau sesudah perkawinan dilangsungkan, tetap men¬jadi hak atau kewajiban masing-masing.
2. Pihak kedua dapat mengurus dan mempertahankan haknya, baik dalam tindakan pengurusan maupun dalam tindakan pemilikan untuk mengurus, menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak, maupun yang tidak bergerak, dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya.
3. Untuk hal-hal tersebut di atas, sepanjang diperlukan dengan ini pihak kedua telah diberi kuasa dan persetujuan oleh pihak pertama.

Pasal 5
BIAYA-BIAYA
1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik dan memelihara anak-anak yang dilahirkan dari per¬kawinan mereka dipikul oleh pihak pertama.
2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut di atas yang dilakukan oleh pihak kedua, dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari pihak pertama.
3. Hutang-hutang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari biaya-biaya tersebut di atas, harus ditanggung dan wajib dibayar oleh pihak pertama, dan pihak kedua tidak dapat ditagih atau digugat mengenai hal tersebut.

Pasal 6
BERAKHIR/PERHITUNGAN MENURUT HUKUM
1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada para pihak, pada saat berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau dianggap dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut, sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.
2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga termasuk pula perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah kedua belah pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap miliknya Pihak Kedua, sehingga terhadap barang-barang tersebut, tidak akan diadakan perhitungan.

Pasal 7
LAIN-LAIN
Bahwa selain dari pada pakaian dan barang-barang perhi-asan, mereka masing-masing (yang menurut keterangan para pihak tidak perlu diuraikan lebih lanjut dalam akta ini), tidak membawa sesuatu apapun dalam perkawinan yang harus ditulis dalam akta ini.

Pasal 8
DOMISILI
Untuk akta ini dan segala akibatnya serta pelaksanaan-nya, memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di kan-tor Panitera Pengadilan Negeri Jakarta di Jakarta

DEMIKIANLAH AKTA INI
Dibuat dan diselesaikan di Jakarta, pada hari, tanggal, bulan dan tahun seperti tersebut pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh :
keduanya karyawan kantor Notaris, dan bertempat tinggal di Jakarta, sebagai para saksi
Setelah akta ini selesai dibacakan oleh saya, Notaris, kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para penghadap, para saksi dan saya, Notaris, menan-datangani akta ini
Dibuat dengan


Contoh Putusan Pengadilan Agama mengenai Harta Perkawinan
GUGATAN HARTA BERSAMA ISTRI KAWIN BEBERAPA KALI
KASUS POSISI:
• Bercerai dengan Cecep Subrata alias Hendrik dan menikah dengan Budiman Sinulingga, tak membuat kondisi Popy Alpadiani menjadi lebih baik; ada saja tindakan Budiman yang membuat Popy kerepotan.
• Kerepotan itu bahkan dirasakan Popy sejak 5 bulan setelah menikah dengan Budiman pada tanggal 10 Maret 1983. Pasalnya Budiman meminta Popy untuk menghentikan usaha salonnya dan menolak semua bantuan yang dari Hendrik untuk keluarganya. Demi harga diri Budiman pula, Popy memutuskan menjual rumah yang ditinggalinya di Jl. Sukamenak No. 5 Dayeuh Kolot Bandung kepada Muhsin seharga Rp. 35 Juta tahun 1986.
• Hasil penjualan tanah dan rumah tersebut, oleh Popy dibelikan tanah seluas 440 m2 di Jl. Cicukang No. 9 milik Ny. Enah seharga Rp. 5 juta. Kelebihan hasil penjualan tanah tersebut digunakan Popy untuk membangun rumah di atas tanah itu. Sebagian lainnya membeli mobil untuk Budiman.
• Namun, kebaikan-kebaikan Popy tak menjamin Budiman berlaku baik terhadap istrinya. Tanpa setahu istrinya, Budiman memakai Sertifikat tanah di Jl. Cicukang itu sebagai jaminan atas kreditnya sebesar Rp. 32 Juta.
• Tetapi, sepandai-pandainya Budiman menyimpan rahasia, lama-kelamaan Popy tahu juga karena Bank mengirimkan tagihan kredit itu ke Jl. Cicukang. Persoalan inilah kemudian membuat pasangan Budiman-Popy tak lagi rukun. Dan akhirnya Suami-Istri Budiman-Popy bercerai di Pengadilan Agama Cimahi, berdasarkan Akte Cerai tanggal 23 April 1993 No. 133/AC/1993/ PA Cmi. Popy dan anak-anaknya baik anak-anak dari Hendrik maupun dari Budiman, tetap berdiam di Jl. Cicukang.
• Meski telah bercerai, tetapi persoalan antara Budiman dan Popy belum selesai karena Budiman telah menganggap bahwa tanah dan rumah di Jl. Cicukang adalah “harta bersama” yang diperoleh dalam masa pernikahan mereka. Tentu saja ini tak ditanggapi oleh Popy. Namun Budiman agaknya bukan orang yang gampang menyerah. Digugatnya Popy di Pengadilan Agama Cimahi.
• Budiman menuntut agar Hakim Pengadilan Agama memberikan putusan sebagai berikut:

PRIMAIR:
1. Mengabulkan seluruh Gugatan Penggugat;
2. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan tersebut;
3. Menyatakan tanah dan bangunan sesuai dengan Sertifkat Hak Milik No. 836 Desa Mekar Rahayu Kec. Marga Asih Kab. Bandung setempat dikenal sebagai Jl. Cicukang Raya No. 9 Kab. Bandung adalah harta Bersama (gono-gini) milik Penggugat dan Tergugat yang belum dibagikan;
4. Menghukum Tergugat untuk mengadakan pembagian dan pemisahan atas harta perkawinan dengan Penggugat masing-masing ½ (setengah) bagian atau apabila pemisahan dan pembagian barang tidak dapat dilakukan dalam bentuk barang maka barang harta perkawinan dijual di muka umum dan hasilnya dibagikan kepada Penggugat dan Tergugat masing-masing ½ (setengah) bagian;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa Rp. 100.000 per hari apabila Tergugat lalai dalam menjalankan putusan ini;
6. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun Tergugat Verzet, Banding, Kasasi;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;

Atau SUBSIDAIR:
Apabila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya;

PENGADILAN AGAMA:
• Hakim agama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut:
• Penggugat dan Tergugat adalah mantan pasangan Suami-Istri yang menikah 10 Maret 1983 dan bercerai dengan Akte Cerai No. 133/AC/1993/PA Cmi tanggal 27 April 1993. Dari hasil pernikahan keduanya lahir, Crina Criswina Sinulinggal.
• Objek sengketa adalah tanah dan rumah di Jl. Cicukang Raya No. 9 Mekar Rahayu, Marga Asih, Kab. Bandung. Objek sengketa tersebut menurut Penggugat adalah Harta Bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat.
• Hal tersebut dibantah oleh Tergugat, Saksi yang diajukan Penggugat, Enok mengatakan bahwa pembayaran tanah sengketa diterimakan oleh Tergugat dan Penggugat atau diserahkan oleh Tergugat saja. Tetapi, Enok tidak mengetahui uang tersebut milik siapa; sedangkan saksi Jefri menyatakan Penggugat tidak pernah pulang ke rumahnya di Kopo.
• Berbeda dengan keterangan saksi-saksi tersebut; saksi Tergugat menyatakan bahwa objek sengketa dibeli oleh Tergugat dan Hendrik, suami Tergugat sebelum menikah dengan Penggugat. Tergugat membangun rumah di tanah tersebut, dan dijual lagi kepada saksi Michsin seharga Rp. 35.000.000,- di hadapan Notaris. Ketika Tergugat menerima yang penjualan rumah, mengatakan akan menggunakan uangnya untuk membeli tanah dan rumah.
• Pembantu rumah tangga Tergugat menerangkan bahwa rumah di Jl. Dr. Sukamenak dibeli ketika Tergugat berumahtangga dengan Hendrik. Sedangkan rumah sengketa dibeli ketika berumahtangga dengan Penggugat.
• Berdasarkan bukti surat-surat dan keterangan saksi-saksi Majelis berpendapat bahwa objek sengketa diperoleh dari hasil perkawinan antara Tergugat dengan suami terdahulu, terlepas dari Hendrik atau H. Cecep Subrata; Penggugat tidak dapat mempertahankan dalil gugatannya dengan bukti surat/kuitansi pembayaran maupun keterangan saksi tentang kepemilikan tanah dan bangunan rumah tersebut.
• Dalil gugatan Penggugat adalah pasal 35(1) UU RI No. 1 tahun 1974 Majelis berpendapat bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing Suami atau Istri. Berdasar bukti surat-surat, Tergugat telah memiliki tanah dan rumah sebelum terjadinya perkawinan dengan Penggugat tahun 1983.
• Majelis berpendapat bahwa sekalipun objek sengketa dibeli dan dibayar setelah terjadi perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, tetapi tidak berarti harta Bersama, karena uang untuk membeli tanah dan membangun rumah Tergugat tersebut adalah berasal dari suami terdahulu (Hendrik).
• Oleh karena itu berdasar dari pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 86 dan 87, Kompilasi Hukum Islam, menentukan bahwa objek sengketa tidak dapat dibagi antara Penggugat dan Tergugat.
• Permohonan Penggugat tentang CB atas objek sengketa tidak dapat dipertimbangkan, karena kekhawatiran Penggugat tidak tampak pada sikap Tergugat. Kekhawatiran Penggugat tidak memenuhi syarat CB.
• Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis mengadili: Menolak gugatan Penggugat seluruhnya dan menyatakan objek sengketa dan Sertifikat Hak Milik No. 836 adalah harta Milik Tergugat (Ny. Popy Alvadiny binti Asasta).

PENGADILANTINGGI AGAMA:
• Penggugat Budiman Sinulingga menyatakan Banding atas putusan Hakim Pertama. Hakim Banding yang mengadili perkara ini berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Pertama telah tepat dan benar. Oleh karenanya pertimbangan dan putusannya dikuatkan.
• Akhirnya Hakim Banding memberikan putusan: Menguatkan putusan Pengadilan Agama Cimahi tanggal 30 November 1992 M (26 Jumadil Akhir) No. 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi.

MAHKAMAH AGUNG R. I.:
• Penggugat, Budiman Sinulingga menolak putusan Pengadilan Tinggi Agama yang menguatkan putusan Pengadilan Agama. Penggugat mengajukan permohonan kasasi dengan keberatan sebagai berikut:
1. Judex Facti hanya mengambilalih pertimbangan hukum dan menguatkan putusan Pengadilan Agama.
2. Judex Facti begitu saja mengambilalih dan menguatkan pertimbangan Pengadilan Agama yang menyebutkan bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan dalilnya, berupa bukti surat, kuitansi atau saksi. Padahal terbukti bahwa objek sengketa telah dibeli dan dibangun, ketika Penggugat dan Tergugat dalam ikatan perkawinan. Secara hukum, seluruh harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah harta gono-gini.
3. Judex facti keliru mengartikan harta gono-gini, Penggugat dianggap tidak dapat membuktikan dengan surat, kuitansi atau saksi bahwa uang pembelian objek sengketa berasal dari Penggugat.
4. Judex facti telah keliru, karena membebankan pembuktian kepada Penggugat. Tidak lazim, bila setiap pemberian uang atau harta lainnya dari suami kepada istrinya atau sebaliknya harus disertai kuitansi atau bukti penerimaan, pembelian benda apapun adalah harta gono-gini, sepanjang tidak diperjanjikan.
• Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat kasasi, dalam putusannya berpendirian bahwa putusan judex facti (Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama) tidak salah menerapkan hukum.
• Mengenai keberatan kasasi butir 1 dan 4, tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena hal ini, mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pasal 30 UU No. 14 tahun 1985.
• Berdasarkan pertimbangan tersebut, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan atau Undang-undang maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi Budiman Sinulingga bin Medan Sinulingga tersebut harus ditolak.
• Akhirnya Mahkamah Agung memberi putusan: Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon.

CATATAN:
• Dari putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, dapat diangkat “Abstrak Hukum” sebagai berikut:
• Sebidang tanah beserta rumah yang berdiri di atasnya, meskipun dibeli dalam masa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat, namun barang ini secara juridis bukanlah merupakan “Harta Bersama” dari suami/istri tersebut. Hal ini disebabkan karena uang yang digunakan untuk membeli tanah beserta rumahnya tersebut adalah milik istrinya, yakni Tergugat, yang diperolehnya dari pembagian “Harta Bersama” dengan bekas suaminya terdahulu sebelum Tergugat dikawani oleh Penggugat. Tanah dan rumah yang demikian itu menjadi hak milik istri (Tergugat).
Demikianlah catatan kasus ini.


Kesimpulan penulis terhadap kasus diatas mengenai harta perkawinan

Kasus tersebut tentunya bisa meyakinkan para pembaca bahwa untuk menentukan suatu harta perkawinan apakah merupakan harta bersama atau harta bawaan sangatlah kasuistis dan dari analisis penulis menawarkan dua cara dalam menentukannya yaitu pertama, kapan harta tersebut diperoleh dan kedua, bagaimana asal muasal sehingga harta tersebut ada, sebagaimana kasus diatas meskipun harta itu diperoleh selama perkawinan A dan B tidak menjadi harta bersama A dan B karena uang yang digunakan untuk membeli harta tersebut adalah milik B yang diperolehnya sebelum perkawinannya dengan A atau uang tersebut diperolehnya dari perkawinannya terdahulu dengan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar