Kamis, 12 Februari 2009

DEWAN PENGAWAS SYARIAH & PERBANKAN SYARIAH


Sejarah dan Permasalan Perbankan Syariah

Upaya pendirian bank Islam di Indonesia dimulai sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).

Gagasan berdirinya bank Islam di Indonesia lebih kongkret pada saat lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Ide tersebut ditindak lanjuti dalam Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus 1990. yang kemudian diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Maka diikuti dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia yang merupakan Bank Umum Syariah pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti pula pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

Pada dekade tahun 1992 hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah boleh dibilang agak lambat. Peraturan pada saat itu menjadi pembatas bagi berkembangnya bank syariah, karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah hanya melalui perluasan kantor bank syariah yang telah ada atau pembukaan bank baru. Situasi demikian membuat Bank Muamalat Indonesia (BMI) menjadi pemain tunggal di pasar dengan sejumlah masalahnya, terutama berkaitan dengan masalah pengelolaan likuiditas dan mitra kerjasama.

Pada dekade tahun 1998 hingga tahun 2007 perangkat hukum saat itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk mulai menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system, yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel. Dan memberi peluang yang lebih besar dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia.

Namun ketiadaan perangkat hukum pendukung memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku yang nota benenya berbasis bunga/konvensional, di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan bank syariah di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional. Hal ini disebabkan manajemen bank-bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang disyariahkan, dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua kebutuhan masyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank konvensional. Namun keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 dalam rezim sekarang ini tidak cukup. Banyak kendala dan tantangan yang dihadapi bank syariah sebagai suatu industri baru. Yang lebih utama, pengembangan perbankan syariah juga harus market driven. Bank syariah akan dapat berkembang dengan baik bila mengacu pada demand masyarakat akan produk dan jasanya.

Dalam rangka mempercepat perkembangan perbankan syariah, Bank Indonesia menyempurnakan kebijakan pengembangan jaringan layanan syariah melalui Layanan Syariah (LS)/Office Channeling (OC). Langkah ini dilaksanakan melalui perubahan berbagai peraturan Bank Indonesia seperti penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/7/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.

Beberapa pokok aturan terkait penyempurnaan dari Peraturan Bank Indonesia sebelumnya. Pertama, Memperluas cakupan wilayah layanan transaksi perbankan syariah. Sebelumnya, penerapan layanan syariah (LS)/office channeling (OC) hanya diperbolehkan bila unit usaha syariah (UUS) suatu bank konvensional memiliki kantor cabang syariah (KCS) di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia (KBI) yang sama. Setelah penyempurnaan, UUS dapat menerapkan LS/OC di seluruh kantor cabang dan cabang pembantu bank induk konvensionalnya pada propinsi yang sama atau wilayah kerja KBI yang sama. Kedua, Meningkatkan layanan yang semula hanya melakukan kegiatan penghimpunan dana, diperluas dengan melakukan seluruh transaksi perbankan yaitu penghimpunan dan penyaluran dana serta jasa transaksi perbankan syariah lainnya. Ketiga, Kewajiban mencantumkan logo industri perbankan syariah di setiap kantor, bank konvensional induknya yang melayani transaksi syariah.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka landasan hukum bank syariah telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya dan secara tegas sistem perbankan syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistem perbankan nasional.

Pengembangan perbankan syariah nasional pada dasarnya merupakan bagian dari program restrukturisasi perbankan nasional. Sedikitnya ada empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan yang berdasarkan prinsip Islam tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Kedua, terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku bisnis yang berdasarkan nilai-nilai moral, yang pada gilirannya akan meningkatkan market disciplines dan pelayanan bagi masyarakat. Ketiga, mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia. Karena pengembangan bank syariah sebagai alternatif dari bank konvensional akan memberikan penyebaran risiko keuangan yang lebih baik. Keempat, mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi kegiatan spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan ditujukan pada usaha-usaha yang berlandaskan nilai-nilai moral.[1].

Bank Indonesia pada program akselerasi atau percepatan memiliki enam langkah strategis Untuk mencapai share dalam perbankan syariah yaitu: (1) penguatan kelembagaan, (2) pengembangan produk, (3) peningkatan peranan pemerintah, (4) penguatan kerangka hukum, (5) penguatan sumber daya manusia, dan (6) penguatan pengawasan bank syariah. Keenam langkah strategis ini dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai program kegiatan yang lebih bersifat teknis seperti evaluasi dan amandemen Peraturan Bank Indonesia, penerbitan kodifikasi produk dan jasa bank syariah, pelaksanaan sosialisasi dan edukasi publik mengenai bank syariah, pelaksanaan pelatihan bankir syariah, dan pengawasan yang lebih intensif terhadap rencana bisnis bank syariah agar sejalan dengan program akselerasi. Langkah strategis yang pertama, yaitu penguatan kelembagaan bank. Secara kelembagaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah dapat dilakukan melalui empat institusi yaitu: Bank Umum Syariah (BUS), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Islamic Windows, dan Office Channeling.

Bank syariah memberikan fasilitas berupa produk-produk keuangan yang mengikuti syariah Islam dan dalam operasional bank syariah didasarkan pada prinsip jual-beli dan bagi hasil sesuai dengan syariah Islam. Adapun produk bank syariah seperti titipan murni (al-wadiah), pembiayaan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, jual-beli dalam bentuk murabahah dan al-bai’u bithaman ajil, sewa-menyewa dalam bentuk al-ijarah dan al-tajiri, jaminan dalam bentuk al-kafalah dan al-rahn, pinjaman lunak (al-qardhul hasan), kegiatan transfer (al-hiwalah), layanan proyek (al-joalah), jasa penitipan (al-wakalah), jual-beli mata uang (al-sharf), dll.

Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan dalam hal teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan akan tetapi , terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya perbedaan itu menyangkut akad, aspek legalitas, struktur organisasi, bisnis atau usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.

Perbedaan lain yaitu pada pola hubungan antara bank dan nasabah dalam bank syariah bersifat kemitraaan (syirkah) sedangkan konsep yang diterapkan pada bank konvensional adalah hubungan debitur dan kreditur, sistem imbalan pada bank syariah berdasarkan bagi hasil sehingga sangat bergantung pada hasil usaha sedangkan bank konvensional memberikan imbalan berdasarkan konsep bunga yang sama sekali tidak tergantung pada hasil usaha debitur, dan perbankan syariah memiliki sejumlah pembatasan dalam hal pembiayaan karena tidak semua proyek dapat dibiayai oleh perbankan syariah, tetapi harus memenuhi prinsip dan kaidah syariah yang mengedepankan aspek moralitas, kejujuran, keadilan, dan transparansi.

Sayangnya, pemahaman masyarakat soal perbankan syariah belum memadai seperti masih banyak terjadi kesalahpahaman. Kecurigaan dan ketidakpuasan masyarakat didasarkan pada sejumlah bank syariah yang memang belum melaksanakan prinsip-prinsip syariah secara konsisten. Selain itu ada juga karena prasangka, salah interpretasi, dan bias komunikasi dari masyarakat pengguna jasa bank syariah.

Permasalahan lainnya adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pada saat bank-bank syariah mulai tumbuh, ketersediaan Sumber Daya Manusia masih belum memadai. Ditambah lagi Sumber Daya Manusia yang sudah ada dan bekerja pada bank syariah masih ada yang belum memahami dan mampu mengkomunikasikan sistem syariah kepada masyarakat.

Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah. Oleh karena itu perlu meningkatkan purifikasi praktik perbankan syariah yang konsisten dalam menerapkan prinsip dan kegiatan sesuai syariah.

Kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktek-praktek yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama.

Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya hanya yang sekadar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil atau marjin jual beli dengan tingkat bunga bank konvensional yang berlaku, sehingga penempatan dana menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga.

Adapun dampak dari sosialisasi dan meningkatnya pengetahuan masyarakat pengguna jasa perbankan syariah akan membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut agar bank-bank syariah dapat melakukan purifikasi kegiatan usahanya sehingga terhindar dari keragu-raguan adanya pelanggaran prinsip syariah dalam kegiatannya.

Kegiatan bisnis perbankan syariah mencakup berbagai aspek hukum temasuk hukum dagang, hukum perbankan, dan hukum perusahaan. Oleh karena hukum yang diberlakukan tersebut bersifat umum, maka pada bagian-bagian tertentu terdapat permasalahan lantaran adanya kontradiksi antara hukum positif yang berlaku dengan prinsip-prinsip syariah yang wajib diterapkan dalam perbankan syariah.

Kemudian perlu penyempurnaan ketentuan perbankan dan pengembangan sistem pengawasan yang efektif. Misalnya ketentuan mengenai kecukupan modal minimum atau capital adecuacy ratio (CAR) untuk bank syariah memerlukan sejumlah penyesuaian karena risiko dari berbagai asset utama bank syariah seperti mudharabah, musyarakah dan murabahah berbeda secara mendasar dengan kredit pada bank konvesional. Demikian pula ketentuan mengenai penilaian kualitas aktiva produkti, dll.

Sebenarnya mekanisme pengawasan telah diciptakan melalui kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank syariah, adanya kewajiban bahwa setiap produk dan jasa baru bank syariah untuk memperoleh fatwa kehalalannya terlebih dahulu pada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), serta fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia.

Oleh karena itu, independensi Dewan Pengawas Syariah dalam melaksanakan fungsi pengawasannya atas produk dan kegiatan perbankan syariah sangat berpengaruh terhadap produk/jasa yang dipasarkan atau suatu kegiatan yang dilakukan oleh perbankan syariah agar sesuai dengan prinsip syariah.

Dari sisi pengembangan pengawasan, pada prinsipnya 25 Core Principles for Effective Banking Supervision yang dikembangkan oleh Basle Committee on Banking Supervision juga perlu diadopsi oleh pengawas perbankan syariah. Hanya saja, selain mengadopsi prinsip yang berlaku universal juga harus dikaji hal-hal yang bersifat spesifik, antara lain soal ketentuan kehati-hatian, manajemen risiko, panduan pembiayaan yang mendukung praktik pembiayaan yang sehat, sistem akuntansi yang dapat mendukung financial transparency untuk perbankan syariah.

Hal terpenting lainnya yang tidak dapat dilupakan adalah peningkatan kualitas dan profesionalisme pengawas bank syariah, baik dari sisi pengetahuan aspek perbankan maupun prinsip-pirinsip syariah.

Dari paparan di atas, akhirnya dapat dikemukakan bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam penyusunan/penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, mekanisme pembukaan jaringan, upaya penyebarluasan informasi, atau pelaksanaan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) semata-mata, tetapi juga sangat ditentukan oleh para pelaku ekonomi yaitu para bankir, nasabah, dan mitra dalam memanfaatkan bank syariah sebagai bagian dari sistem keuangan yang universal dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia.

Analisis Mengenai Dewan Pengawas Syariah

1. Dalam pelaksanaan proses pembinaan dan pengawasan DPS terhadap perbankan syariah hanya merupakan pengawas kepatuhan syariah sebuah produk dimana dapat dilihat bahwa yang menjadi objek materil pengawasannya adalah segala produk/jasa perbankan syariah bahkan sampai pada tahap pelaporan DPS ke DSN-MUI, direksi, komisaris, dan Bank Indonesia hanya memuat hasil pengawasannya terhadap sebuah produk/jasa atau kegiatan usaha suatu perbankan syariah penempatannya, sehingga nampak bahwa fungsi pembinaan yang ada pada DPS tidaklah merupakan suatu kewajiban yang dijalankan secara formal. Maka dari itu penulis menganggap perlu secara tegas dalam suatu sistem pembinaan dan pengawasan DPS secara tegas mencantumkan sasaran pembinaan sehingga dalam pelaporan DPS memuat kegiatan/hasil pembinaan yang telah dilakukannya.

Adapun penulis maksud adalah pembinaan internal dalam sebuah LKS yang dilaksanakan oleh DPS secara formal terhadap segenap karyawan pada LKS penempatannya dan pembinaan eksternal seperti sosialisasi dan edukasi baik terhadap masyarakat maupun terhadap pihak-pihak antar suatu LKS lainnya yang dijalankan secara formal ataupun nonformal baik itu dalam bentuk seminar resmi ataupun acara lainnya seperti pengajian, khutbah jumat, dan pengajaran di kampus-kampus atau pesantren, dsb. Jadi seyogianya dalam sistem pembinaan dan pengawasan DPS selain mengatur pengawasan terhadap produk/jasa dan kegiatan usaha dalam sebuah LKS juga mengatur bentuk-bentuk pembinaan yang harus dilakukan DPS baik di dalam maupun di luar LKS penempatannya.

2. Pertama dari segi SDM pada DPS dan SDM yang bekerja pada perbankan syariah, keharusan memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah hanya dilihat dari aspek ilmu ekonominya sehingga anggota DPS yang ada pada LKS kebanyakan hanya terdiri dari orang-orang ekonomi dan dari ulama.

Menurut penulis seharusnya juga dilihat dari aspek ilmu hukumnya adapun ilmu hukum yang terkait khususnya bagian keperdataan seperti mengerti dan memahami apa yang diatur dalam KUHPerdata (burgerlijk wetboek), KUHD (wetboek van koophandel), dan berbagai peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan hukum perusahaan, hukum jaminan, kepailitan, dsb. Sehingga dalam bertindak sesuai kewenangannya dalam hukum karena dalam sebuah otoritas pengawasan ada empat kewenangan yang harus dimiliki yaitu Pertama, kewenangan memberi izin (power to license). Kedua, kewenangan untuk mengatur (power to regulate). Ketiga, kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power of control). Keempat, kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction).

Dari keempat kewenangan tersebut sangat jelas hanya bisa dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang mengerti ilmu hukum agar kewenangan tersebut sesuai/sejalan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Jadi seyogianya SDM pada DPS maupun SDM yang bekerja pada perbankan syariah memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah baik itu dari aspek ilmu ekonominya maupun dari aspek ilmu hukumnya.

Kedua, dari segi kuantitas dalam hal ini jumlah anggota DPS dalam sebuah LKS sangat minim dan hanya berkedudukan di kantor pusatnya, seolah-olah fungsi DPS hanya menghadiri rapat-rapat bersama pimpinan LKS, memberi fatwa, dan pengawas produk/operasional syariah hanya pada kantor pusat LKS penempatannya. Seharusnya DPS juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kantor cabang atau cabang pembantu LKS penempatannya karena bentuk pengawasan DPS bukan hanya pada tahap perencanaan suatu produk/jasa atau kegiatan usaha LKS melainkan juga pada tahap pelaksanaan mengenai kesesuaiannya terhadap syariah. Jadi menurut penulis seyogianya DPS tidak hanya berkedudukan di kantor pusat LKS tapi juga terhadap kantor cabang atau cabang pembantu khususnya yang tidak berada dalam satu wilayah dengan kantor pusat LKS penempatannya, sehingga fungsi pembinaan dan pengawasan DPS dapat berjalan dengan optimal.

Kesimpulan

1. Pembinaan dan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap perbankan syariah hanya berfungsi sebagai pengawas kepatuhan syariah sebuah produk, maka dari itu DPS selain mengawasi dan berperan dalam manajemen dan marketing bank, seharusnya juga dapat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia dan hubungan interpersonal di sebuah Lembaga Keuangan Syariah, serta membantu mendorong pengembangan investasi para nasabah atau mitra bank. Jadi tugas sosialisasi dan edukasi ini seharusnya merupakan tugas formal Dewan Pengawas Syariah di luar peran pengawasannya terhadap produk/jasa atau kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah yang dijalankan.

2. Pertama, dari segi SDM pada DPS dan SDM yang bekerja pada perbankan syariah, keharusan memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah hanya dilihat dari aspek ilmu ekonominya, seharusnya SDM pada DPS maupun SDM yang bekerja pada perbankan syariah memiliki ilmu keuangan, perbankan, dan syariah baik itu dari aspek ilmu ekonominya maupun dari aspek ilmu hukumnya.

Kedua, dari segi kuantitas dalam hal ini jumlah anggota DPS dalam sebuah LKS sangat minim dan hanya berkedudukan di kantor pusatnya, seharusnya DPS tidak hanya berkedudukan di kantor pusat LKS tapi juga terhadap kantor cabang atau cabang pembantu khususnya yang tidak berada dalam satu wilayah dengan kantor pusat LKS penempatannya sehingga fungsi pembinaan dan pengawasan DPS dapat berjalan dengan optimal.

Saran

1. Sistem pembinaan dan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap bank syariah supaya lebih ditingkatkan atau dikembangkan tidak hanya berfungsi sebagai pengawas kepatuhan syariah sebuah produk, sehingga pertumbuhan bank syariah makin cepat jangan lagi banyak terjadi selama ini di mana sangat banyak bank syariah yang baru terlalu lama mencapai break event point (BEP) sehingga terlalu lama untuk melakukan spin off bagi perbankan syariah yang masih berstatus Unit Usaha Syariah.

2. Dewan Pengawas Syariah (DPS) diharapkan lebih profesional dan produktif karena melalui pendekatan emosional, rasional, dan edukasi market share bank syariah bisa menanjak secara signifikan dengan ilmu keuangan, perbankan, dan syariah baik itu dari aspek ilmu ekonomi maupun dari aspek ilmu hukum yang dimilikinya. Dan hendaknya jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah dalam suatu perbankan syariah ditambah sehingga DPS tidak hanya berkedudukan di kantor pusatnya khususnya pada kantor Cabang atau cabang pembantu yang tidak berada dalam satu wilayah dengan kantor pusatnya.


[1] Mulya E Siregar dan Nasirwan/Peneliti Senior Biro Perbankan Syariah BI, 16 January 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar