Senin, 16 Maret 2009

PRO DAN KONTRA PENGATURAN KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT LELANG


A. Latar belakang
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Adapun kewenangan notaris yang dimaksud sebagaimana pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai berikut:
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2) Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan berdasarkan pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang, pejabat lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun pengaturan notaris dapat merangkap jabatan sebagai pejabat lelang kelas II dalam pasal 7 Vendu Istructie, stbl. 1908 No. 190 tentang Instruksi Lelang sebagai berikut:
(s.d.u.t. dg. s. 1908-537 dan s. 1919-448.) Yang termasuk juru lelang kelas I ialah:
1. Pejabat pemerintah yang diangkat khusus untuk itu;
2. Kepala kas negara yang ditugaskan untuk memegang jabatan juru lelang sebagai jabatan tambahan.
Yang termasuk juru lelang kelas II ialah:
1. Pejabat negara, selain yang disebut dalam alinea pertama pasal ini, yang memegang jabatan yang dirangkapkan dengan juru lelang;
2. Orang-orang yang khusus diangkat untuk jabatan ini.

Dan secara tegas lagi diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II, sebagai berikut:
1. Pejabat Lelang Kelas I (PL I)
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
2. Pejabat Lelang Kelas II (PL II)
Orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang atas permohonan Balai Lelang selaku Kelas II, yang terdiri dari:
a. Lulusan Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh BPPK,
b. Notaris, atau
c. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) DJPLN diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I.

Menurut Hanugrahardini (17-04-2008, www.google.com) Pemberian kewenangan kepada Notaris dalam pembuatan akta risalah lelang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya di bidang lelang. Hal ini dikarenakan pemberian kewenangan tersebut tumpang tindih dengan kewenangan Pejabat Lelang sebagai pelaksana lelang berdasarkan Peraturan Lelang (Vendu Reglement) dan Instruksi Lelang (Vendu Instructie).

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang penulis dapat rumuskan sebagai berikut: “Apakah pengaturan kewenangan notaris dalam pembuatan akta risalah lelang tumpang tindih dengan pengaturan kewenangan pejabat lelang sebagai pelaksana lelang yang juga berwenang membuat akta risalah lelang.”

C. Analisis
Penulis sendiri sangat menyayangkan apabila melihat ataupun mendengar para sarjana hukum masih ada yang menafsirkan peraturan perundang-undangan hanya satu persatu tanpa mengaitkannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara keseluruhan (interpretasi sistematis). Interpretasi sistematis ini bukan saja antara pasal (ayat) dengan pasal (ayat) dalam UU yang sama, melainkan juga pasal (ayat) dengan pasal (ayat) dalam UU yang berlainan. Interpretasi sistematis ini hanyalah salah satu dari beberapa bentuk interpretasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan pemahaman yang berbeda seperti ini.
Penulis sendiri melihat bahwa kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (g) UUJN bukanlah suatu hal yang baru atau ada yang mengatakan suatu perluasan kewenangan bagi notaris dan bahkan beranggapan bahwa notaris tanpa melalui pengangkatan sebagai pejabat lelang dapat secara langsung berwenang membuat akta risalah lelang dengan pertimbangan bahwa yang mengatur kewenangan tersebut UU yang secara hirarki kedudukannya lebih tinggi dari peraturan menteri yang mengatur mengenai kewenangan pejabat lelang (lex superior derogat legi inferiori) atau vendu reglement dan vendu instructie yang dikesampingkan dengan alasan asas lex posterior derogat lege priori, adalah suatu kesalahan besar menurut penulis karena kedua asas tersebut baru dapat digunakan hanya untuk menyelesaikan suatu peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan dan penulis melihat pengaturan kewenangan tersebut tidak ada pertentangan bahkan satu sama lain saling menguatkan dan menunjukan konsistensi hukum. Dimana peraturan menteri tersebut merupakan lex specialis yang mengatur mengenai pengankatan notaris sebagai pejabat lelang.
Sebagai bahan perbandingan kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN, mengenai kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan juga bukan berarti notaris dapat secara langsung membuat akta di bidang pertanahan tanpa didahului pengangkatan sebagai PPAT dengan alasan yang sama bahwa profesi PPAT hanya diatur dalam Peraturan pemerintah. Hal tersebutpun keliru karena peraturan pemerintah tersebut juga merupakan lex specialis dalam pengankatan notaris sebagai PPAT agar dapat menjalankan kewenangannya tersebut sebagaimana yang diatur dalam UUJN.
Jadi pengangkatan notaris sebagai pejabat lelang juga bukan termasuk larangan rangkap jabatan bagi notaris sebagaimana dalam pasal 17 UUJN karena pengaturan hukum pengangkatan tersebut diatur dalam vendu reglement, vendu instructie, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II yang juga merupakan lex specialis dari kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (g) UUJN.

D. Kesimpulan
Kedudukan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dari segala perbuatan hukum yang dilakukan dalam lapangan hukum perdata, sedangkan pejabat lelang berkedudukan sebagai pejabat khusus yang berwenang dalam pelaksanaan lelang termasuk membuat akta risalah lelang. Jadi pengaturan pejabat lelang dengan peraturan menteri merupakan lex specialis dari pengaturan kewenangan notaris khususnya mengenai pembuatan akta risalah lelang dalam UUJN.

E. Saran
Dalam menganalisis suatu peraturan perundang-undangan haruslah secara keseluruhan yang utuh sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang keliru karena dapat menimbulkan anggapan bahwa pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan adalah pasal-pasal titipan (produk politik hukum).